Kenapa Harus Cemburu Melihat Sahabat Sukses?


“Salah satu kehebatan tarbiyah Rasulullah SAW adalah beliau berhasil melahirkan dan mengumpulkan manusia-manusia ‘besar’ tanpa satupun di antara mereka yang merasa ‘terkalahkan’ oleh yang lain.
Setiap mereka tidak berpikir bagaimana menjadi ‘lebih besar’ dari yang lain, tapi lebih dari mereka berpikir bagaimana mengoptimalisasikan seluruh potensi yang ada pada dirinya dan mengadopsi sebanyak mungkin ‘keistimewaan’ yang ada pada diri orang lain.”—di kutip dari caption instagram Erwin Pratama (Wakil Presiden Mahasiswa Universitas Sriwijaya 2014/2015)
  
Caption instagram ini sangat menyentuh hatiku dari awal pertama kali membacanya. Itu semua karena caption ini memiliki makna yang dapat membuat aku berpikir lebih banyak lagi soal permasalahan yang kini sedang naik daun di antara hubungan remaja tanggung seperti aku.
Benar adanya bahwa hidup di dunia ini tergolong kompetitif. Terutama di zaman yang mulai terjadi krisis kepedulian dan moralitas ini, banyak hal yang sangat disayangkan soal hubungan dan interaksi akan sesama manusia.
Kembali lagi ke-makna dari caption tadi—alasan utama kenapa aku sangat suka dengan kutipan tersebut adalah karena ada banyak pengalaman yang ku-punya soal rasa persaingan dan kecemburuan yang terjadi di lingkaran kerjasama tim atau persahabatan.



Jika semasa kecil persahabatan identik dengan kepolosan dan kenaifan bocah cilik yang rela berkorban dan selalu berusaha untuk sama dalam segala aspek, maka makin mendewasa makna persahabatan semakin sempit dan kini menjadi sebuah tanda tanya.
Persahabatan seharusnya menjadi kata yang membahagiakan ketika kita mendengarnya, terbayang dibenak kita wajh-wajah mereka yang kita percayai dan menyayangi kita layaknya sebagai saudara sedarah.
Tapi bagaimana jika kini persahabatan yang dibangun dengan pondasi yang kuat mulai runtuh akibat terjangan dari banjir iri dan cemburu?

“Penyebab kecemburuan adalah kurangnya rasa percaya diri, merasa ketakutan, ketergantungan, dan kebiasaan tidak bersyukur.” Ungkap salah satu psikolog terkenal, Nicole Martinex, Psy D, LPCP.

Terkadang kita bisa begitu dekat dengan seseorang hingga membagikan semua kisah dan kasih kita kepada orang tersebut. Kepercayaan yang kita berikan kepadanya begitu tinggi, rasa sayangpun menjulang keatas hingga kita tak tega apabila melihat dirinya tersakiti.
Sahabat ibaratkan jari yang luka—yang artinya apabila ia sehat maka jari yang lain tak merasakan sakit, tapi ketika dia luka dan berdarah maka jari yang lain akan merasakan perih dan ketidaknyamanannya.
Aku sendiri mungkin sudah punya beberapa sahabat yang kini sudah tidak bisa terhitung dengan jari ditangan karena jenjang pendidikan yang sudah kulalui cukup banyak dan mempertemukan aku dengan banyak orang di dunia.

Kata persahabatan telah lama kudengar melalui telingaku, dan definisi persahabatan sejak kecil telah terdoktrin dalam pemikiranku, “Persahabatan adalah hubunganmu dengan seseorang yang tahu akan kelemahanmu namun tak mengumbar aibmu.”
Bersahabat itu tentunya menyenangkan. Kita bisa berbagi cerita, berkeluh kesah, jalan-jalan bareng, makan bareng, ngelakuin hobi yang serupa, dan mengejar mimpi bersama-sama. So romantic!
Tapi gimana sih ketika persahabatan jadi panas-dingin akibat salah satu diantara kita ada yang punya rasa iri akan kesuksesan dan keberhasilan sahabat?
  
Mungkin ini juga masalah klasik yang sudah sering dijadikan sebagai bagian cerita dari sebuah kisah sinetron. Karena rasa cemburu dan iri akhirnya rusak sudah persahabatan yang telah di bangun sejak lama.
Entah penyebabnya bisa dikarenakan masalah nilai rapor, popularitas, prestasi, atau bahkan karir sahabat yang cemerlang. Tapi kenapa sih persahabatan yang awalnya saling menyayangi malah jadi membenci?
Jika didalam persahabatan ada seorang yang menganggap hubungan mereka sebagai persaingan maka itu sama aja kayak lagi merakit bom waktu yang akan segera meledak di lingkaran mereka sendiri. Kenapa?
Karena jika salah satu sahabat tersebut menyadari bahwa dia dianggap saingan (apalagi jika beberapa kali sahabatnya ketangkep basah iri dan mengeluhkan keberuntungan sahabatnya tersebut) maka bisa jadi sahabat yang awalnya biasa aja jadi malah ikut membenci dan menganggap hubungan mereka sebagai kompetisi.

          Pernah ada salah satu 
partner-ku bercerita kepadaku soal hubungannya dengan sang sahabat yang rusak parah karena merasa adanya persaingan dalam klub yang mereka ikuti.
Rasa persaingan ini memicu timbulnya desas-desus negatif terhadap dirinya yang berasal dari sahabatnya sendiri ketika dia sudah berada dipuncak. Ya misalnya dia habis meraih sebuah prestasi atas nama klub, kemudian atas prestasinya maka dia dijadikan tim inti di dalam klub tersebut.
Karena hal tersebut, rasa iri dari sang sahabat malah membuat sahabat bertindak tidak mengenakan. Seperti membicarakan keburukannya (gibah) atau menyebarkan berita tidak benar tentang sahabatnya (fitnah).
Kalau mengingat cerita ini, makna persahabatan malah menjadi momok yang sangat menakutkan didalam pikiranku. Karena pastinya aku juga pernah ngerasain hal yang sama meski mungkin kronologisnya berbeda-beda.

Aku sendiri memang sudah pernah merasakan gimana rasanya ketika ada orang terdekat yang iri atas peraihan yang kita peroleh. Dan begitu mengecewakan ketika mendengar orang tersebut malah mengungkit keburukan kita dan berusaha menjatuhkan kita di khayalak ramai ketika banyak orang yang kagum terhadap kita.
"Rara caramu public speaking jelek, bahasanya gak rapi, kayaknya gak perlu sering-sering presentasi dan maju deh."
"Rara tulisan kamu agak alay deh, maknanya gak ada, tapi tulisannya panjang banget."
"Aneh kok bisa dia, dia males gitu kerjaannya makan tidur doang, terdeteksi nyontek ini mah."
"Dia gak punya kemampuan lain apa? cuma bisa gitu-gitu doang. Anak SD mah lebih bisa ketimbang dia."
"Gak usah nanya tentang agama sama Rara, entar ketahuan dia bodohnya."

Dan lain-lain, dan lain-lain.

Tentunya ada rasa marah dan emosi terhadap perilaku orang deket yang hobi judge kelebihan atau kekurangan kita, apalagi bila ucapannya dengan lantang menyakiti kita dan membuat orang lain ilfeel sama kita. Padahal dibalik kesuksesan kita ada banyak keringat menetes diantara kerja keras dan pengorbanan besar yang dilakukan untuk itu.
Berlomba-lomba dalam menjadi yang terbaik tentu merupakan hal yang wajar, namun alangkah baiknya untuk mencapai posisi tersebut dilakukan dengan cara yang baik pula. Tak perlu susah-susah dengan menjatuhkan orang lain ataupun bertindak yang memicu peperangan.

Lantas gimana dong biar aku gak jadi yang sahabat super duper nyebelin kayak gitu?

#Mengakui bahwa aku iri dan cemburu

Ya gak perlu juga mengakuinya pakek ngomong di toak dan keliling kampus kalo aku iri sama sahabatku. Cukup akui saja didalam hati bahwa keberuntungan dan keberhasilannya membuat aku juga pengen ngerasain hal yang sama.

#Menekankan bahwa kebahagiaan sahabat tidak akan menyakiti hatiku

Ngeliat sahabat bahagia punya gebetan atau calon suami cakep, tajir, sholeh, dan cerdas apalagi mirip Al-Ghazali atau Afgan, kita malah bersungut-sungut sebal karena membandingkan keberuntungan dan kebahagiaan yang dia miliki sama yang kita miliki.
Ewh.. punya kepribadian kayak gitu kok rasanya ngeselin banget ya. Melihat sahabat sendiri saja sudah kebakaran jenggot, bagaimana kalo melihat orang lain bahagia beb?
Seharusnya sebagai seorang rekan kita turut bersuka cita karena dibalik kebahagiaan yang sahabat kita miliki maka Allah SWT telah memberikan tanda bahwa semua manusia memiliki rezeki masing-masing, untuk diri kita? silakan terus berusaha dan berdoa; tunggulah suatu saat ia akan datang.

#Jadikan sahabat kita sebagai inspirasi

Btw, cemburu itu menurutku wajar karena itu tandanya kita masih punya sifat manusia. Tapi yang gak wajar itu adalah ‘intensitas’ kecemburuan yang melebihi batas.
Kalo kita baik dan cerdas, rasa cemburu itu pasti bakal kita olah menjadi motivasi bukan rasa benci yang menyebabkan adanya iri dengki dalam hati—amit-amit dah.
Menjadikan orang yang kita cemburui sebagai inspirasi memang cukup sulit, tapi dibanding kita menjadi pribadi useless yang seakan-akan selalu membandingkan diri kita dengan dirinya, lebih baik jadikan sahabat kita sebagai tempat kita untuk bercermin dan memperbaiki diri.

Apa yang harus kita hindari dari rasa cemburu pada sahabat?

#Berhenti membanding-bandingkan

Mulailah dengan bersyukur atas apa yang telah kita punya tentu lebih baik, sehingga ketika melihat kelebihan orang lain tidak timbul bibit penyakit didalam hati kita.
Rasa tidak puas akan diri sendiri gak hanya akan menyiksa kita dan memperlihatkan bahwa kita insecure, tapi juga akan menyakiti orang lain yang bisa saja kita celakai karena dorongan rasa cemburu dan benci di dalam diri kita.

#Tak perlu berdusta

Ini yang sangat dan harus ditekankan dalam diri. Jangan pernah berdusta pada diri sendiri bahwa tidak anda cemburu dan merasa kalah kepadanya. Jangan juga berdusta kepada orang lain dengan memberitakan cerita yang enggak-enggak tentang sahabat kita supaya dia dapat respon negatif di lingkungan.

#Berhentilah menghasut orang lain untuk ikut serta membencinya

Mungkin akan ada rasa puas dalam diri kita ketika melihat orang yang kita cemburui akhirnya dibenci oleh banyak orang. Tapi sadar gak sih, dengan ini kemampuan dan keberuntunganmu gak akan ter-upgrade menjadi lebih baik tapi karena tingkahmu ini, orang yang kamu cemburui malah jadi punya motivasi lebih besar lagi untuk memperbaiki diri.
Kamu semakin lama akan tertinggal karena terlalu sibuk mengurusi dirinya, semakin banyak bakatmu yang terkubur sia-sia akibat terlalu fokus membicarakan dirinya dengan orang lain.
Sedang dia? Dia punya banyak motivasi dalam meng-upgrade dirinya, baik kemampuan atau attitude. Bahkan dengan adanya respon negatif terhadap dirinya oleh orang disekitar, itu akan membuat mental dia semakin terasah dan kuat seperti baja.
Otomatis, kamu jalan ditempat; sedang dia telah bergerak naik ke level yang lebih jauh.

So, kenapa harus cemburu melihat sahabat sukses?
Mulailah untuk berhenti menganggap persahabatan sebagai persaingan, mulailah berprasangka baik, dan bersyukurlah terhadap apa yang telah kamu miliki. Berjalan beriringan dengan sang sahabat sambil meraih mimpi tentu tak kalah romantiskan dibanding dengan dilamar oleh Pangeran Berkuda Putih?

Kamu pasti merupakan tipe sahabat supportive dan gak gampang cemburu akan kesuksesan sahabat bukan?
"Aku tahu rezekiku tidak dimakan orang lain, karenanya hatiku tenang. Aku tahu amalan-amalanku tidak mungkin dilakukan orang lain, maka aku sibukkan diriku dengan beramal. Aku tahu Allah selalu melihatku, karenanya aku malu bila Allah mendapatiku melakukan maksiat. Aku tahu kematian menantiku, maka aku persiapkan bekal tuk berjumpa dengan Rabb-ku."— Hasan Al-Basri

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saturday Corner 03 : Elvinger

Dulunya IPA, Lulus SBMPTN SOSHUM dengan Belajar 10 Hari?

Saturday Corner 02 : PIK REMAJA SMA BUKIT ASAM