Personal : Catatan dari Sebuah Hati
Dan janganlah kamu mendekati zina, sesungguhnya
zina itu adalah suatu perbuatan yang keji dan
suatu jalan yang jelek.”—(Al-Qur’an
Surat Al-Isra : 32)
Penggalan terjemahan ayat Al-Qur’an tersebut bukanlah hal asing
lagi bagi telingaku. Sudah puluhan kali bahkan ratusan kali aku membacanya di
sosial media atau juga mendengarkannya dari pembicaraan orang-orang
disekitarku. Tapi kata-kata
familiar ini tentunya tak serta merta membuatku mudah memahami serta
mengamalkannya.
Zina—bukanlah hal yang tabu lagi di masyarakat sekarang. Tua-muda, kaya-miskin,
berpendidikan-tak berpendidikan, semua aktivitas tak jauh dari perilaku yang
merugi satu ini. Simpel, salah satu bentuk zina adalah pacaran; kegiatan yang
sangat membudaya di antara manusia.
Konteks yang aku bahas kali ini memang tentang cinta dan hubungan tanpa status
sebelum menikah. Yups aku sendiri sudah pernah menjalani kegiatan tidak
berfaedah ini dan terakhir kali itu sewaktu kenaikan kelas 11 di masa SMA.
Aku bukan tipikal wanita populer yang mempunyai barisan antrean penggemar yang
memudahkan aku untuk menggonta-ganti pacar seperti aku menggonta-ganti kartu
paket internetku. Tapi aku juga bukan wanita kaku yang sulit bergaul dengan
pria, sebagian besar temanku adalah pria—teman yang kuanggap memang selayaknya
teman, atau bahkan kuanggap sebagai saudara laki-laki.
Ah hingga suatu hari aku bertemu dengan seorang pria yang satu angkatan di
kampusku—tapi lebih muda 2 bulan ketimbang diriku. Perkenalan kami tak kusangka
akan menjadi titik awal renovasi kehidupan diriku—perubahan besar-besaran
dalam hidupku.
Anggaplah kami sebagai partner kerja dalam suatu perhimpunan yang membuat kami
sering berinteraksi dan berkomunikasi. Untukku pribadi, berhubungan dengan pria
adalah hal biasa—itu juga opini pertamaku ketika dia sering menghubungi.
Pembahasan kami jauh dari kata ringan, kebanyakan kami melakukan
diskusi dan bertukar pikiran soal matakuliah yang kebetulan serupa meski dalam
prodi yang berbeda. Obrolan kami juga didominasi dengan diskusi
tentang rangkaian pemikiran kami untuk perhimpunan tempat kami bertemu.
Meski begitu, sejujurnya dalam hati kecil kami—sejak pertama berbicara bersama,
kami sama-sama memiliki ketertarikan—terutama kami juga memiliki banyak
kesamaan yang identik dan hobi yang serupa. Terlepas
dari itu semua kata profesionalitas adalah prinsip utama yang selalu kami
junjung, meski akhirnya ribuan spekulasi dan gondokan fitnah datang
menyerbu dan menggoyahkan hubungan kami.
Jauh sebelum mengenal dirinya sebenarnya kehidupanku sungguh sudah sangat
berwarna. Tapi dengan kehadiran sosok baru ini aku merasa hidup penuh warnaku
kini jauh lebih menarik, lebih berirama.
Dalam dirinya terdapat 3 sosok yang sangat berarti bagi diriku, partner kerja
yang hebat, sahabat yang selalu mendengarkan dan peduli, juga sebagai seorang
yang menunjukan ketertarikan kepada diriku.
Jujur saja sebenarnya dalam hati, aku sedikit khawatir prihal asmara dan hati.
Meski terlihat sedikit genit terhadap kakak tingkat, nyatanya aku punya rasa
minder untuk disukai oleh orang lain—terutama aku bukanlah wanita yang telah
berhijab (lingkungan kampusku adalah lingkungan yang penuh nuansa Islami).
Aku sendiri gak paham sebenernya kenapa sulit banget buat merubah diri dan mindset-ku tentang pentingnya
menutup aurat, saat itu yang ada dibenakku adalah ‘yang penting aku berpakaian layak dan sopan’.
Beberapa orang sering mengkritikku bahkan menyindir secara terang-terangan akan
pilihanku yang memutuskan untuk menunda-menunda berhijab. Keinginanku untuk berhijab
kemudian semakin jauh, aku
bukanlah orang yang suka terjebak dalam keadaan terpaksa.
Meski banyak pukulan-pukulan telak menghantam keseharian bahkan kegiatan
kampusku, aku tetap berusaha sebaik mungkin untuk profesional dan terlihat gak
memperhatikan omongan orang dibelakangku. Tapi sepandainya aku menyimpan rasa
kecewa itu, pasti ada saja yang paham makna tawa dan senyum dari raut mukaku.
Yang kuingat dimasa-masa jatuhnya kepercayaan diriku serta stress ringan yang
aku alami, ada ada beberapa sosok orang yang terus menopangku dengan tangguh—mereka tak peduli cemooh orang lain terhadap
keputusan mereka untuk terus mendukung dan memberikan kepercayaannya kepadaku.
Dan diantaranya terdapatlah sesosok laki-laki tadi, yang secara gamblang tetap
melindungi bahkan menyemangatiku. Perasaan dihargai orang lain membuatku
bangkit dan tetap bersemangat, bersamaan dengan timbulnya perasaan kagum
terhadap dia yang mau saja menyukaiku yang jauh dari kata wanita ideal (read : wanita muslimah) untuk dirinya yang
cukup dikenal sebagai pria mushola.
Hari berganti, waktu berlalu, bulan berbilang; kebersamaan kami semakin mantab, bukan sebagai sepasang kekasih—tetapi
sebagai dua orang yang berusaha bekerja sebaik yang mereka bisa untuk amanah
yang mereka pegang.
Sejujurnya begitu berat, kami berdua hanya mampu bercerita kepada teman
terdekat kami soal perasaan kami. Kami tidak bisa bertemu dan bertatap muka
langsung apapun urusannya karena gosip tentang kami benar-benar tajam.
Kami
juga menghindari pembicaraan di chatting yang membahas perasaan, karena kami
mempunyai satu hal yang terus kami yakini bersama : mimpi
untuk terus bisa meng-upgrade diri
kami menjadi lebih baik dan kami berusaha totalitas terhadap status kami di
perhimpunan.
Tak terelakan, kami juga pernah merasa kecewa karena persepsi orang terhadap
kami—terutama aku yang ketakutan akan memburuknya nama dia di mata khayalak
ramai. Padahal banyak dari tuduhan orang kepada kami tidaklah berlandasan
kebenaran.
Dengan bekal keagamaan dari tiap kegiatan perhimpunan, dan seiring
bertambahnya ilmu dan amal, tentunya memunculkan pergolakan didalam hati kami
antara haq dan batil, antara taat dan maksiat; kami tetap mengusahakan menjaga
batasan kami sewajarnya.
Tapi melihat puluhan kepala
berpikir buruk tentang dirinya, membicarakan aibnya, atau bahkan ada yang
mencelakainya dengan menjatuhkan caranya mengemban amanah—Aku berusaha
mengikhlaskan tertundanya hubungan kami. Aku memutuskan untuk segera menjauh.
Perubahan sikapku gak serta merta membuatnya peka akan kemauanku, hingga
akhirnya aku memberanikan diri membuat status di instagram untuk membahas
kembali motto profesionalitas kami yang mulai kendur.
Mengisi kekosongan waktuku, aku menyibukan diri dengan ikut kajian dan diskusi.
Sharing dan bertukar pendapat dengan kakak tingkat perempuanku tadi, dan
akhirnya aku menemukan keinginanku untuk menjemput hidayahku.
Aku masih ingat jumat 24 maret 2017, hari
itu aku putuskan untuk menggunakan hijab sebagai langkah awal perbaikan diriku.
Aku menghubungi ayahku yang tinggal didaerah berbeda dengan lokasiku kuliah—aku
memohon doa darinya.
Waktu itu kebetulan sedang akan dilaksanakannya diksar selama 3 hari, dan
kemungkinan banyak orang melihatku berhijab adalah untuk kepentingan diksar
tersebut.
Aku tak memberi tahu dia yang mulai kuabaikan segala bentuk chat-nya, bukan karena aku tak
peduli—aku hanya ingin memberikan kejutan kecil untuknya di hari senin 27
maret 2017 (dimana diksar
telah selesai, sehingga ketika melihatku berhijab pasti sudah yakin hijabku
permanen).
Aku tahu dibalik dirinya yang tak pernah menegurku untuk segera berhijab, dia
selalu menyampaikan harapannya tentangku kepada sahabatnya—harapan terhadap diriku yang segera berhijrah. Sayang, belum sempat beliau tahu aku telah melaksanakan kewajibanku sebagai
wanita, belum sempat ia melihatku menggunakan gamis panjang yang menjadi ciri
bidadari dunia, dan belum sempat ia melihat progress-ku menjadi wanita
sholehah, beliau wafat dalam
keadaan syahid ketika diksar—didepan mataku.
Tak ada ucapan selamat
untukku yang telah berhijab dari orang-orang di perhimpunan, tidak ada senyum
sumringah darinya yang bangga terhadapku, tidak ada godaan-godaan ringan
sahabatku tentang fashion hijabku—kami semua berduka.
Saat itu kurasa dunia seolah berhenti, waktuku tak bergerak, dan hidupku telah
mati. Ada banyak yang kusesali; diriku yang mengeras terhadap dirinya,
penolakanku terhadap permintaannya yang mengajak berfoto berkali-kali,
pengabaianku ketika bertemu di kampus atau di sosmed, bahkan yang paling
kusesalkan adalah permintaan terakhirnya padaku sebelum kejadian—izinkan ia
memasang foto kami sebagai display
picture sosmed-nya, dan aku
dengan keras menolak.
Hari yang kujalani waktu itu sangat berat—mungkin banyak lagi yang lebih berat
dari pada aku. Tapi ada
beberapa momen yang tak mampu aku ceritakan. Aku bukan hanya kehilangan
sosok yang aku cinta—yang aku kagumi karena ketulusannya untuk memilihku yang
penuh kecacatan sebagai dambaan, aku juga kehilangan seorang partner kerja yang
benar adanya kuhormati—bahkan untuknya seluruh pemikiran dan ilmu yang ku punya
aku bagi.
Ada trauma, ada kemarahan yang besar didalam hatiku waktu itu. Ada
pemberontakan dalam batinku, perihal
kami yang tak pernah leluasa berinteraksi—soal kami yang harus diam dan
menegakkan kata profesionalitas tanpa batas meski tetap saja hujatan orang
datang menyerang, dan
prihal kami yang sekarang benar-benar terpisah sekarang.
Waktu itu kupikir, baru saja—baru saja aku mau memperbaiki diri, menjemput hidayahku,
melaksanakan apa saja kewajiban dan sunah untukku, dan bersemangat menjemput
tantangan baru untuk kulalui bersama senyumnya meski kami tak berinteraksi
sedekat dulu.
Tapi ketika aku berusaha meraih tangan Allah, jari-jemari iblis erat memegangi
kaki-kakiku. Berharap aku tetap diposisi kejahiliyaan, atau bahkan jatuh ke
jurang neraka yang lebih dalam.
Tak ada yang kupikirkan selama berhari-hari sehabis tragedi, terkecuali mati. Untuk
pertama kalinya aku melihat kematian yang begitu nyata dihadapanku—dan
aku takut. Aku benar-benar takut. Aku seperti dihantui rasa kehilangan dan
ketakutan akan merasakan hal yang sama.
Aku mencari-cari dimana aku bisa mendapatkan perlindungan, aku mencari-carinya
dengan sendiri, karena orang yang selama ini kuhandalkan tak dapat lagi
membantu. Yang kubisa hanyalah menangis semalaman, yang kudapat hanyalah ucapan
istigfar yang tak pernah kulepas dari tangisku.
Putaran memori selalu menjadi mimpi buruk disetiap malamku, aku menjadi pribadi
yang penuh keluh kesah—menyayangkan janji dan
mimpi kami hanya sebatas rencana yang jadi wacana. Aku membenci keseharian kami
yang penuh semangat mengukir mimpi yang akan selalu menjadi mimpi.
Aku ingin Allah membangunkanku segera dari tidur panjangku yang dihantui mimpi
buruk. Berhari-hari aku tergeletak lemah bagai orang pesakitan, air mataku tak
ada habis-habisnya menetes bersamaan dengan doa yang selalu
kutembangkan—berharap kebahagiaannya untuk dirinya di dunia sana, juga kebaikan
untuk mereka yang kehilangan sama seperti diriku.
Tapi janji tetaplah janji, profesionalitas
kerja kami haruslah kujadikan sebagai bangunan tegar. Dengan
hati berkeping-keping kususun nada demi nada false dalam irama hidupku.
Aku harus bangkit, dan menguatkan perhimpunanku seperti janji kami dulu; mengabdi, kalahkan keegoismean
diri.
Hingga hari ini perasaanku masih sama—masih penuh
akan warna yang bertabrakan, antara sedih dan bingung, antara cinta dan kecewa,
antara berusaha bangkit dan setengah terpuruk.
Belajar dari kehilangannya, ada banyak makna yang tak akan kusiakan berlalu
begitu saja. Meski perilakuku
masih tak jauh beda dibanding dengan aku yang belum berhijab, secara perlahan
aku mulai memperbaiki rutinitasku.
Sholat 5 waktu begitu kuketatkan, kemeja-kemejaku mulai kulonggarkan, celana dan
rok pressbody-ku telah
berganti menjadi gamis panjang, buku-buku kemuslimahan menjadi santapan harian,
dan intensitasku hadir dikegiatan mushola semakin kutingkatkan.
Aku begitu dihantui rasa bersalah dan berdosa—aku takut saja akan kematian yang
mengelilingi manusia ini tiadalah mengenal usia. Kepergian
lelaki tadi menarikku untuk terus menerus mencari cinta dari Pemilik Ruh-ku.
Ada banyak maaf yang ingin kuhaturkan kepada beliau, tapi rasa kasih lebih
menggunung lagi atas pentingnya ia berada dalam kisah hidupku. Peran yang ia
berikan untuk diriku begitu banyak, entah dikala ia hidup maupun dikala ia
dalam keadaan yang kini tengah berbeda.
Seperti dokter yang menjadi perantara Allah menyelamatkan hamba-Nya, bagiku beliau adalah salah satu
sosok yang berjasa dalam menghantarkan hidayah Allah kepada hamba-Nya yang
enggan meraih uluran tangan-Nya berkali-kali.
Ada banyak kritik yang kuterima ketika dia ada maupun tiada. Soal diriku yang
mendekati perilaku zina dan belum berjilbab, hingga tentang diriku yang
membebani hisabnya dengan terus-menerus tenggelam hingga larut dalam rasa sedih
berkelanjutan.
Tapi dibanding peliknya hujatan dan hasutan yang menyudutkan aku itu, rasa
sakit akan pengharapan terhadap manusia lebih besar kurasakan hingga aku lupa bahwa aku
juga terluka dengan perkataan para pembenci.
Hingga suatu hari kutemukan dalam buku kemuslimahan, dahulu di zaman Rasulullah
adalah seorang wanita bernama Ummu Salamah yang merasakan sakitnya melihat sang
suami meninggal sehabis perang. Atas kesedihannya ini maka Rasul mengajaknya
untuk berdoa kepada Allah, “Allahumma’jurni
fii musbati wa akhluf li khairan minha.”
“Ya Allah berilah aku pahala dari musibah
ini, dan semoga aku mendapatkan ganti yang lebih baik dari padanya.”
Aku sedikit terhenyak membaca kisah ini, terutama pemberontakan hati Ummu
Salamah yang bertanya kepada Rasulullah, “Ya Rasul, siapakah lelaki yang lebih
baik lagi daripada Abu Salamah?”. Dan yang tak terduga ialah, Allah menjadikan Sang Rasul Allah sebagai jawaban
dari tanya Ummu Salamah. Akankah kujumpai kemanisan seperti ini?
Ketahuilah saudara, apabila aku sekuasa Allah dalam hujan-Nya akan
kuhanyutkan segala duka nestapa manusia ke muara bahagia; bukan mauku terus-menerus
menenggelamkan diri dalam dalam di kesedihan ini. Bolehkan aku meminta waktu
untuk memperbaiki dan mengumpulkan lagi pecahan hati milikku ini?
Assalamualaikum, kuharap kabarmu selalu baik
disisi Allah SWT.
Kamu tahu sekarang aku telah berhijab sesuai dengan inginmu yang
kau sampaikan pada sahabatmu bukan? Dan kamu pasti tahu aku sedih dan teriris
akan tragedi kali ini bukan?
Tapi,
aku kagum terhadap dirimu yang masuk kategori syuhada; terutama engkau syahid
ketika tengah tholabul’ilmi (mencari ilmu) untuk berjuang menjadi khoirunnas anfa’uhum linnas (Manusia bermanfaat bagi sesamanya).
Semoga nanti aku bisa menjadi sebaik dirimu, karena syahid di jalan Allah
adalah mimpi dari banyak manusia.
"Orang yang mati syahid mendapatkan
tujuh keistimewaan dari Allah; diampuni sejak awal kematiannya, melihat
tempatnya di surga, dijauhkan dari adzab kubur, aman dari huru-hara akbar,
diletakkan mahkota megah di atas kepalanya yang terbuat dari batu yakut terbaik
di dunia, dikawinkan dengan tujuh puluh dua bidadari, serta diberi syafaat
sebanyak 70 orang dari kerabatnya.”
— (Hadist riwayat al-Tirmidzi, Ibnu Majah, dan Ahmad yang
bersumber dari sahabat Miqdam bin Ma’di tentang sabda Rasulullah SAW)
Bagus semoga membantu
BalasHapusVisit juga : etalaseinform.blogspot.com