Bilik Pendek : Secepatnya

 


Kulipat sajadah setelah Ashar terlaksana. Hari ini aku agak santai, ahad sore menandakan semua urusan domestik rumah tangga telah tertata. Tinggal menyusuri akhir waktu menuju hari senin yang baru—kembali bekerja. Aku berdiri dari posisi duduk setelah merapikan alat sholat dan berjalan menuju cermin panjang yang menggantung di sebelah pintu. Kutatap ia yang di hadapanku dalam-dalam.

Wajahnya masih cerah meski sedikit memerah, jejak air mata masih berbekas meski tak terlalu kentara. Aku tersenyum kepadanya, ia pun sama. Aku berpindah kearah kursi meja makan sederhana yang menyempiti ruangan di kosanku. Kududukan diriku dengan perlahan sembari menghela nafas, kembali merenungi apa yang tadi telah kubagi dengan Sang Ilahi.

Seperti biasanya, aku kerap bercerita akan kegundahan dan keinginanku pada Allah, namun sore ini nampaknya lebih emosional. Liquid cair dan bening dari manik mataku tak terkontrol jatuh bersamaan dengan ingus yang bolak-balik meler dari hidung pesekku. Aku teringat ucapan ibuku kemarin malam; saat telfonan rutin antara anak perantauan dan mamaknya.

Ya, mumpung ibumu masih sehat”, itulah kalimat pembuka yang mengiris hatiku hingga lukanya kini masih menganga. Ibuku menceritakan sesalnya perihal telat menikah, hingga anaknya masih muda; ibuku telah renta. Ia tak menuntut sama sekali, perkataannya sekedar cerita; bukan paksa. Ibu berharap tahun depan 3 anak gadisnya telah bersuami, terselip pula harap inginnya punya cucu selama masih disini.

Aku berusaha santai, meski hatiku juga meronta-ronta. Aku juga sudah lama ingin menikah. Melihat Faera—sahabatku yang langsung dinikahi pacarnya pasca kami wisuda tempo hari, apalagi melihat Tiwi—sahabat dekatku yang lain melahirkan minggu lalu. Tapi, aku tak ingin tunjukan emosi apapun yang akan membuat ibuku cemas menjadi sedih. Kuajak ibu bercanda, meski rasanya ingin buru-buru mematikan telfon untuk menumpahkan tangisku—ucapan ibu menggiringku kearah duka.

Aku tak dekat dengan ibu dan bapak. Mereka sibuk kerja ketika aku tinggal serumah. Kalau ada waktu, mereka lebih banyak mengurus kakak yang duluan dewasa dan selalu memberi mereka pengalaman pertama dalam mengasuh anak. Atau diwaktu lain, mereka akan lebih memilih mengurus adik yang masih kecil nan manja; ia sedang lucu-lucunya, sebagai bungsu ia akan selalu lucu dimata orang tua.

Meski fakta itu menyebalkan, namun hingga sekarang aku tak pernah benci mereka. Aku selalu ingin membahagiakan mereka, menyenangkan mereka, ingin berbakti kepada keduanya. Aku tumbuh tak serajin kakak, maka aku bukan anak yang orang tuaku handalkan; kadang malah dimata mereka nampak menyusahkan.

Aku juga tak sehoki si bungsu, ia lebih muda tapi sukses lebih dulu. Uang yang dia punya mampu membeli banyak bahagia dan bangga untuk ayah dan ibu. Sedang aku? Tentu aku tak sepencundang itu, aku punya deretan prestasi meski hanya bisa memberi bahagia sewaktu-waktu prestasi itu masih baru. Makanya, aku sering termenung dalam sedihku; belum mampu setara dengan saudaraku dalam membahagiakan ibu dan bapakku.

Aku kembali mengingat dan meresapi tiap kata dan nada suara ibuku semalam. Dengan lirih, diwaktu yang sama kumintakan ibu terus mendoakan saja agar jalanku menjemput ingin ibu berlangsung mulus. Ibu mulai menjawab ucapanku dengan nada tercekat. Aku yang tak dekat secara emosional dengan orang tua merasa awkward. Aku tidak suka situasi menyedihkan itu. Lalu akhirnya berjam-jam berlalu, aku masih kepikiran.

Aku melongo ke arah jendela, menatap jauh kesana. Merintih dalam diamku, “Ya Allah, aku telah berusaha”. Aku mengingat kilas balik hidupku. Bagaimana aku mendidik keras diriku menjadi perempuan terpelajar, berusaha menyesuaikan etika dan kepribadian dengan masyarakat, mencoba dan mengenal kencan buta, dan mengadu serta berharap dalam temu disepertiga malam dengan-Nya. Belum ada jawaban, meski ada satu nama yang selalu kudoakan sebagai harap.

Mengingatnya, dan mengingat ucapan ibu; membuatku kembali gelisah. Bisakah secepatnya? Aku ingin mengabulkan permintaan ibu.


                                                                                                        Cerita Pendek, 2022.

                                                                                                        Rarachan

Komentar

  1. Semoga segera dipertemukan, ya. Semua hal baik selalu dimulai dengan yang baik. Teruslah berjuang, Ra!

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Saturday Corner 03 : Elvinger

Dulunya IPA, Lulus SBMPTN SOSHUM dengan Belajar 10 Hari?

Saturday Corner 02 : PIK REMAJA SMA BUKIT ASAM