Personal : Kisah Tentang Hijrah Pakaian
Assalamuallaikum wr.wb
Hilo!
Wah lagi-lagi aku gak konsisten menjaga suhu di
dunia blogger yang awalnya aku rencanakan untuk digeluti
sebagai rutinitas. Sayang sekali kesibukan kuliah dan organisasiku kadang
membuat waktu yang kumiliki banyak tersita dan ketika senggang hanya ada rasa
malas yang kurasa ^_^”
Saat ini Universitas Sriwijaya sedang liburan semester ganjil dan cukup banyak
waktu luang yang aku miliki. Sebagian besar kugunakan untuk membaca buku
dan surfing di internet hehe.
Di postingan kali ini aku mau sedikit membagikan pengalaman dan curahan hatiku
soal hijrah. Mungkin buat yang mengikuti postingan di blog-ku sudah tahukan bahwa aku baru berhijab sekitar 9 bulan lalu karena
aku pernah cerita di postingan ini.
Baiklah langsung saja, seperti yang sudah pernah dibahas di postingan sebelumnya, aku baru
memutuskan untuk berjilbab dimulai dari pertengahan semester 2 aku duduk
dibangku kuliah. Salah satu faktor penyebab aku memilih berhijab ialah karena lingkungan kampusku yang bernuansa islami.
Saat ini setelah 9 bulan berlalu, ada banyak pelajaran dan peningkatan kualitas
serta kapasitas yang aku jalani guna memperbaiki diriku agar bisa menjadi
muslimah yang Allah ridhoi. Tak bermaksud menggurui apalagi pamer,
postingan ini sesungguhnya kubuat sekedar untuk sharing dan berbagi.
Dari awal aku memutuskan berhijab, aku telah bertekad bulat untuk melaksanakan
tatacara berpakaian sesuai syariat muslimah syar’i. Meski tandanya aku
harus merogoh kocek dalam-dalam untuk membeli seluruh
kebutuhanku untuk berhijab syar’i. Aku juga telah mengira akan timbul berbagai macam spekulasi tentang
perubahanku secara fisik yang dari gadis orientalis menjadi gadis
muslimah berjilbab lebar (meski sebenarnya jilbabku enggak lebar-lebar betul
sih).
Satu bulan sebelum memutuskan untuk berjilbab, aku mendaftarkan diriku ke
arisan organisasi dan beasiswa berprestasi untuk mencari dana hijrah. Ya, aku
berniat dari awal untuk proses hijrah pakaian aku gak ingin orang tuaku jadi
sponsor karena sejujurnya mereka udah banyak banget mengeluarkan uang untuk
kebutuhan kuliahku mulai dari sewa kost hingga bayar UKT.
Dan berselang 3 bulan setelah aku berjilbab dana beasiswaku cair. Tentunya gak
seluruh uang kubelikan keperluan jilbab, hanya sebagian saja. Aku memesan
gamis-gamis dan mulai membeli jilbab lebar untuk bereksperimen.
Alhasil, keseharianku selama kuliah maupun keluar rumah ialah menggunakan
jilbab menutup dada dan gamis menjulur kebawah. Berbanding terbalik dengan
diriku semasa belum berjilbab yang keluar dengan rambut terurai dan kemeja
digulung setengah tiang.
Komentar teman-temanku beragam, ada yang senang, ada pula yang geleng-geleng
kepala melihatku memesan gamis hampir selusin. Ada yang memuji dan mendoakan
supaya istiqomah, ada juga yang mencibir bahwa aku kuno dan keliatan tua. Komentar
yang pedas manis, nano-nano kayak gado-gado.
Memang, terkadang aku sedikit kesal mendengar komentar negatif soal
perubahanku. Namun satu hal lagi yang kuingat ialah, musibah yang menimpaku
diawal aku merintis hidup dengan berhijrah pakaian. Aku masih dihantui rasa
ketakutan akan dosa, maka aku ingin terus memperbaiki diriku dan berusaha
menjadi insan yang akan dicintai oleh Penguasa-ku.
Sering kali sejujurnya aku gak percaya diri dengan pakaian yang aku kenakan
karena aku selalu merasa jelek dan gak pantas. Makanya aku belum terlalu berani
bereksperimen dengan berbagai warna jilbab kecuali jilbab berwarna hitam, navy,
atau maroon.
Berproses memang sulit, tapi mempertahankannya
lebih sulit lagi
Awal berhijab aku mencoba menggunakan handsock (kaus untuk
menutup bagian tangan dan punggung tangan) untuk menyempurnakan penutupan
aurat. Awal-awal memang gerah namun lama-lama terbiasa. Hanya saja ketika di lingkungan kampus penggunaan
handsock adalah hal lumrah, maka di lingkungan rumah itu adalah hal aneh yang
jarang dilihat mata.
Perlahan tapi pasti, aku gagal mempertahankan kebiasaan ini. Kebiasaan yang
hanya bertahan selama 3 bulan saja dan selepasnya aku tak menggunakan handsock lagi.
Hingga saat ini, aku selalu menggunakan gamis dengan ukuran Large yang
setingkat lebih besar dari ukuran asliku. Lengan gamis yang panjang
kualihfungsikan sebagai handsock, dan ukuran gamis yang menjalar
kebawah dapat menutup kakiku dengan sempurna.
Ketika mampu bertahan, ujian pun tak henti
berdatangan
Meski aku kalah mempertahankan handsock, saat ini aku telah
berusaha semaksimal mungkin menggunakan kaus kaki kemanapun aku pergi. Beberapa
orang memang kadang memandangku aneh, menggunakan kaus kaki padahal tidak
kuliah, menggunakan kaus kaki padahal hanya pakai sendal.
Tapi yang kupahami saat ini, kaki juga aurat, maka sebaik mungkin akan kujaga
dan kuhindari dari pandangan yang bukan mahram. Pernah sekali aku
sholat di mushola kampus, ketika selesai wudhu ternyata kaus kaki-ku hilang,
kemungkinan ada akhwat yang salah mengira bahwa kaus kaki-ku
itu miliknya. Sedang saat itu warung jujur mushola tengah kehabisan stock kaus
kaki, maka hati ini begitu gelisah dan takut ditegur sesama akhwat kenapa
tak menggunakan kaus kaki.
Dengan gamis panjang, aku berjalan dengan sedikit melipat kakiku agar jari
jemari tanpa kaus kaki ini tertutup dan tak dilihat orang. Dalam momen ini
sungguh khawatir sekali memperlihatkan kaki yang biasanya terbungkus rapi namun
kali ini bersentuhan langsung dengan lantai dingin tanpa kaus kaki.
Kebanyakan saat ini kita menemui banyak wanita yang keluar rumah tidak
menggunakan kaus kaki, padahal semasa TK hingga SMA mereka selalu menggunakan
kaus kaki di lingkungan sekolah karena menuruti peraturan sekolah; sayangnya banyak dari kita menuruti peraturan
manusia dan mengabaikan peraturan Allah SWT yang pada dasarnya kaki wanita
ialah aurat yang juga harus ditutupi.
Kuno dan tak paham fashion
Ah kalau yang ini kadang suka bikin meringis sekaligus miris. Memang sih
nyelekit banget dikatain kayak nenek-nenek kalo pakek gamis, tapi lebih miris
lagi karena argumennya terkesan hanya memikirkan keindahan dunia.
Aku pernah baca disalah satu akun hijrah di instagram, “Kupakaikan
istriku gamis, agar ia menjadi bidadari syurga.”
Iya, enggak serta merta ketika menggunakan gamis maka engkau dijanjikan masuk
syurga. Tapi apabila engkau berusaha berbuat sesuai yang Allah perintahkan dan
menjauhi larangan maka jaminannya ialah syurga.
Jauh sebelum aku berjilbab aku telah memilih menanggalkan penggunaan
celana jeans karena pemakaiannya tak nyaman bagiku.
Konsentrasi penggunaan celanapun tak lagi mendominasi kesehariaan karena di
fakultas keguruan, mahasiswi wajib menggunakan rok.
Dan saat ini setelah berhijab, gamis menjadi pilihanku sedangkan rok menjadi
opsi kedua dan celana menjadi pakaian di rumah. Sulit? Enggak juga. Kadang juga
kalau melihat teman-teman terlihat manis dengan celana, ada rasa menggelitik
dan muncul rasa ingin berlaku serupa. Tapi hati ini selalu diusahakan terjaga
agar tak mundur, minimal apabila belum
meningkat, biarlah kebiasaan baik itu menetap.
Katanya fanatik, katanya tak baik
Jujur saja, awal berhijrah pakaian memang disebabkan oleh lingkungan fakultas
yang indah dengan nuansa ukhwuwah islamiyah luar biasa. Tapi
sekali lagi jujur saja, saat ini pelan-pelan aku memahami banyak hal soal apa
yang dulu tabu dan tak kuketahui.
Dari
lingkaran diskusi, dari buku-buku yang kukaji, dan dari tausiah-tausiah yang
aku pahami; sesungguhnya ada banyak kekurangan yang dimiliki dalam diri ini. Maka
dari itu sedikit demi sedikit aku mulai menanamkan bata demi bata kehidupan
dengan kebiasaan islami dengan cara berpakaian syar’i dan memulai berbagi
nasihat kebaikan dan menentang apa yang dikatakan mungkar.
Meski, sesungguhnya kebaikan masih jauh dalam diri, kebatilan masih sering
nampak dihati, dan kejahilan masih selalu ada dalam jiwa ini. Hanya saja,
serendah-rendahnya hidup; menjadi manusia bermanfaat ialah mimpi yang selalu
aku usahakan.
Teman lamaku, kadang juga keluargaku, masih cukup tak terbiasa dengan
perubahanku. Kadang ada yang khawatir aku masuk aliran sesat, ada yang
mengingatkan jangan terlalu fanatik, ada pula yang menjustifikasi bahwa aku
‘sok benar’.
Tentunya itu selalu kujadikan poin-poin untuk bermuhasabah diri, meski kadang
rasanya kecewa dikritik dan ditentang. Apakah
memang aku yang terlalu sok fanatik? Atau lingkungan saat ini terlalu banyak
melihat maksiat hingga mereka bergidik ngeri melihat suatu yang syar’i?
Katanya hijrah, tapi pakaian doang
Ah kata-kata ini yang sebenarnya paling menyakitkan, diserang karena perbuatan
tapi biasanya imbas ke hijab dan agama. Benar, untuk saat ini tidaklah layak
aku disebut telah berhijrah sepenuhnya karena perbuatanku masihlah jauh dari
kata baik, dan masih bersentuhan dengan perilaku mungkar.
Terkadang ada suatu kebiasaan yang dianggap orang-orang tabu, terkadang ada
suatu kejadian yang mengundang fitnah dan spekulasi negatif, terkadang muncul
hal ambigu yang membentuk seudzon menguasai hati. Tak apa, selama tak menyerang
secara frontal dengan berbagai serbuan itu tak apa.
Memang benar hijrah pakaian gak serta merta membuatku segera paham dengan segala hal, mampu membatasi diri, bisa menjaga diri dengan pertahanan yang kuat, atau berlaku baik sebaik-baiknya layaknya seorang bidadari. Aku sangat sadar bahwa aku benar-benar kurang. Masih sering khilaf, masih suka jahil, masih sering murung kalau ditegur. Tapi yang kuketahui, kita punya kapasitas kita masing-masing dalam hijrah, dan kita punya proses masing-masing untuk ditempuh.
Memang benar hijrah pakaian gak serta merta membuatku segera paham dengan segala hal, mampu membatasi diri, bisa menjaga diri dengan pertahanan yang kuat, atau berlaku baik sebaik-baiknya layaknya seorang bidadari. Aku sangat sadar bahwa aku benar-benar kurang. Masih sering khilaf, masih suka jahil, masih sering murung kalau ditegur. Tapi yang kuketahui, kita punya kapasitas kita masing-masing dalam hijrah, dan kita punya proses masing-masing untuk ditempuh.
Kadang kritik semacam inilah yang akan kita manfaatkan untuk terus meng-upgrade diri
menjadi lebih baik dan terus berusaha menjadi baik. Karena dibalik kata lelah, masih ada jiwa yang terus
menentang untuk kalah.
Ada banyak kesan-kesan suka maupun duka yang aku rasakan dalam perjalanan awal
menuju hijrah sepenuhnya ini. Tentunya aku selalu berusaha dan meminta berbagai
doa dari para sahabat agar mampu untuk terus istiqomah. Saat ini menutup auratpun mungkin masih jauh dari kata sempurna, meski bergamis, berjilbab menutup dada, pun juga berkaus kaki, terkadang ada satu hal saja yang terlewat dan menjadi kurang dalam menjaga aurat.
Tapi aku ingin sesekali mengapresiasi diri ini yang kadang terlalu letih karena banyak peduli dengan cerca dan kritik.
Beberapa hal yang mulai kulakukan untuk menjaga suhu
komitmen hijrah ini ialah :
Mentoring, mencari
ilmu dan berdiskusi bersama. Fasilitas yang tersedia di kampus, memiliki teman
yang saling mengingatkan, berbagi ilmu dan kisah, juga selalu menguatkan.
Follow akun-akun
sosial media islami, seperti akun hijrah, akun muslimah, tausiah para ustad
dan yang harus diketahui disini; tetap pilih akun terpercaya karena kemungkinan
akan ditemukan akun hoax dan fitnah.
Membaca kisah
Islami seperti Al-fatih, Sirah Nabawiyah, Kisah Sahabat Wanita Nabi,
Kisah Istri Rasulullah, atau motivasi-motivasi hijrah lainnya
Mengganti role
model, aku pernah mengidolakan seorang blogger yang bisa dibilang tidak
berhijab dan iman kepada Allah SWT. Saat ini aku tetap mengikuti blognya, namun
fokus idolaku mulai ke blogger yang di isi oleh para muslimah Allah.
Be inspired,
ketika dirimu memutuskan untuk menjadi inspirasi orang lain, kamu akan berusaha
untuk menjaga kebaikan yang ada didalam dirimu. Bukan munafik dan muka dua,
tapi be inspired ialah salah satu cara agar ketika kamu futur
maka kamu selalu malu untuk berlaku diluar dari kebaikan.
Berkumpul
bersama mereka, orang-orang shalih. Tak ada takaran yang pasti untuk
menilai apakah mereka shalih, tapi yang kupahami ialah mereka yang shalih
adalah mereka yang mengajakku kepada Allah dan mengajakku kepada kebaikan.
Okey mungkin inilah yang bisa
aku ceritakan pada postingan kali ini, semoga aku bisa selalu posting secara
rutin dan selalu mampu berbagi sesuatu yang baik. Terima kasih telah membaca
dan hadir dalam laman blog-ku^^
رَبِّ أَوْزِعْنِي أَنْ أَشْكُرَ نِعْمَتَكَ الَّتِي أَنْعَمْتَ عَلَيَّ وَعَلَى وَالِدَيَّ وَأَنْ أَعْمَلَ صَالِحاً تَرْضَاهُ وَأَدْخِلْنِي بِرَحْمَتِكَ فِي عِبَادِكَ الصَّالِحِينَ
“Ya Tuhanku, berilah aku ilham untuk tetap mensyukuri
nikmat-Mu yang telah Engkau anugerahkan kepadaku dan kepada dua orang ibu
bapakku dan untuk menger jakan amal Sholeh yang Engkau ridhai, dan masukkanlah
aku dengan rahmat-Mu ke dalam golongan hamba-hamba-Mu yang Sholeh.” (QS: An
Naml [27] : 19).
Wassalamuallaikum wr. wb
Komentar
Posting Komentar